Merefleksikan Tujuan Hidup Seorang Muslim

 

 

Ada satu doa pendek yang diajarkan Allah SWT melalui Al-Qur’an kepada kita semuanya. Doa pendek ini mampu merefleksikan tujuan hidup kita sebagai seorang muslim, sehingga sering sekali orang menyebut doa ini sebagai doa Sapu Jagat, yaitu :

Rabbana Atina Fiddun Ya Hasanah Wafil Akhirati Hasanah Wakina  Adzabannar

{“ Wahai Tuhan kami (Allah SWT), Selamamatkanlah kami di Dunia ini serta di Akhirat nanti, dan selamatkan kami dari adzab Neraka “}.

Dunia dan seluruh isinya sesungguhnya merupakan tujuan hidup jangka pendek dari setiap pribadi seorang Muslim. Tujuan jangka pendek yang dapat mengantarkan kita meraih tujuan jangka panjang, yaitu akhirat kelak dan ridho Allah SWT.

Untuk kedua tujuan ini, Islam mengajarkan nilai keseimbangan. Maka bekerjalah buat duniamu itu seolah-olah dirimu akan hidup selamanya, tetapi bekerjalah buat Akhiratmu seolah-olah dirimu akan mati besok.

Nilai keseimbangan ini kemudian diterjemahkan dalam berbagai aspek kehidupanmu, dalam berbagai seluruh aspek kehidupan ini. Bagaimana si kaya harus membantu yang miskin, bagaimana si miskin berusaha supaya tidak menjadi beban bagi yang lain. Sungguh maka kelihatan nilai keseimbangan itu, bagaimana yang tua itu menyayangi yang muda, dan bagaimana bagi yang muda itu menghormati yang tua. Ini semua merefleksikan nilai keseimbangan.

Jadi seakan-akan ini dunia ; ambil apa yang diperlukan, nikmati apa yang diperbolehkan. Kalau bisa engkau jangan sampai gagal di dunia ini. Tapi kalau engkau pun gagal di dunia ini, engkau pun masih punya akhirat. Inilah yang dimaksud dengan sumber optimisme kehidupan seorang muslim.

Kita tidak boleh gagal di dunia ini kalau bisa, tapi kalupun kita gagal kita masih punya akhirat. Karena kita punya (kehidupan) akhirat, karena kita punya akhirat, maka cara kita mencapai dunia ini haruslah diwarnai oleh keyakinan adanya akhirat nanti. Inilah yang menyebabkan seorang muslim berbeda dengan orang lain, dan dia tidak terjebak dalam menghalalkan berbagai cara untuk sebuah tujuan.

Keyakinan adanya akhirat, dapat melahirkan etika dalam kehidupan seorang muslim dengan cara bagaimana dia mencapai dunia ini, dia tidak terjebak menghalalkan cara. Ambillah apa yang perlu, nikmati apa yang diperoleh, tapi jangan membuat cacat akhiratmu karenanya. Inilah yang membedakan kita dengan yang lain.

{“ iya sih saya pingin yang kaya, tapi kalau saya korupsi. Lantas bagaimana akhirat saya nanti ? “}.

{“ iya sih saya pingin naik pangkat/ jabatan, tapi kalau fitnah orang, hantam kiri sikat kanan, teman jadi lawan dan lawan pun jadi teman. Lantas bagaimana akhirat saya nanti ? “}.

Hal inilah yang melahirkan etika pada tata cara mencapai kehidupan dunia, tidak terjebak menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan. Karena apa..? karena tidak satu perbuatan dunia yang bagaimanapun kecilnya yang dampaknya tidak berakibat ke akhirat.

Seseorang muslim yang baik adalah tentu yang pandai meraih kedua tujuan ini, yakni mencapai kebahagiaan dunia dan juga mencapai kebahagiaan akhirat kelak. Sementara Baginda Rasulullah SAW pernah mengajarkan ; {“ Bukanlah orang yang terbaik dari engkau, orang yang hanya mengejar-ngejar dunia dengan cara menyia-nyiakan akhiratnya. Seperti juga, bukan orang yang terbaik yang mengutamakan akhirat dengan menyia-nyiakan dunianya. Tetapi orang yang terbaik adalah orang yang pandai mengkombinasikan antara keperluan dunia dan kepentingan akhirat nanti “}

Untuk mencapai tujuan ini, yakni tujuan dunia yang bisa dicapai dengan ilmu, dengan pengalaman, dengan saint (teknologi), dengan nasib. Artinya, makin banyak ilmu maka makin mudah meraih dunia, makin syarat kita dengan pengalaman maka makin mudah meraih dunia, atau karena faktor nasib lalu kita bisa meraih dunia. Sementara akhirat, hanya bisa diraih dengan prestasi ibadah kita dihadapan Allah SWT.

Jadi dunia bisa kita capai dengan prestasi ilmu, prestasi pengalaman, atau karena factor nasib. Akhirat kita capai hanya dengan prestasi ibadah kepada Allah SWT. Kalaupun ada efek dunianya, seperti dari sholat kita, dari ibadah haji kita, dari puasa kita, dari zakat kita, itu semuanya hanya sekedar said efek (efek samping) saja. Tetapi sasaran utama adalah akhirat dan ridho Allah SWT.

Untuk mencapai dua tujuan ini Allah SWT memberikan alat, alat untuk mencapai tujuan. Seperti dalam kaidah ilmu fiqih dijelaskan bahwa : {“ Alat dan Tujuan hukumnya sama “}. Jadi kalau misalkan tujuannya kesitu maka alatnya harus ada untuk membawa kita kearah situ juga. Sungguh Allah memberikan alat kepada kita. Dalam surah At-Taubah ayat 111 dijelaskan

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”(QS at taubah :111)

Jadi dengan kata lain, Harta yang merupakan bentuk dari materi seperti misal ; uang, tanah, kebun, mobil, pabrik, dan sebagainya. Dan Diri yang merupakan semua kekayaan yang ada dalam pribadi kita seperti ; konsep, pikiran, ide, wewenang, jabatan, skil atau kemampuan.

Untuk tujuan jangka pendek, harta dan diri haruslah jadi rohmah bagi lingkungan. Untuk tujuan jangka panjang maka harta dan diri harus menunjang jalan dalam menuju ridho Allah SWT. Itulah jalan kalau kita mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan kata lain yang alat itu jadikanlah sebagai alat, jangan jadikan sebagai tujuan. Sebab, sekali alat tersebut kita jadikan tujuan, maka tentunya kita akan kehilangan tujuan yang sebenarnya.

Begitulah sang waktu yang sering menggeser alat menjadi tujuan. Kita berfikir bahwa tujuan kita adalah kekuasaan, tujuan kita adalah popularitas, tujuan kita adalah kekayaan, tujuan kita adalah menghimpun kekuatan. Padahal sebenarnya itu hanyalah alat untuk mencapai dunia hasanah dan akhirat hasanah. Kalau alat tersebut kita jadikan tujuan, maka kita akan kehilangan alat yang sebenarnya dan akhirnya kita akan terjerat pada “fatamorgana”.

Kita sangka itu adalah tujuan hidup padahal itu hanya tujuan yang menipu kita saja. Akhirnya kita terjerat dalam arus siklus. Oleh karena itu gunakanlah alat  itu sebagai alat untuk mencapai tujuan kita. Dan bukan malah alat yang dijadikan tujuan kita.Berapapun harta yang kita miliki, itu hanyalah alat, setinggi apapun kedudukan yang telah kita capai itu hanyalah alat, sebanyak apapun ilmu pengetahuan yang kita kuasai dia hanya sekedar alat untuk mencapai fiddunya hasanah dan akhirati hasanah.

 

About mashuda28

Berusaha untuk mencintai sunnah walau harus terasingkan

Posted on 21 Januari 2016, in Tak Berkategori. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar